Pages

Subscribe:

klik disini!!!

Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Kamis, 31 Desember 2009

PERAN AGAMA DALAM KEDOKTERAN


Keajaiban Kedokteran Peran Agama Sebagai Penjaga Etika
Melalui kemampuan dan kecerdasannya, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan, termasuk di bidang kedokteran. Ditunjang oleh pengembangan bioteknologi, ilmu kedokteran dapat menghasilkan sesuatu yang mengagumkan, bahkan, bisa dikatakan mendekati keajaiban.
Salah satu yang saat ini banyak dibicarakan adalah penelitian tentang sel induk [stem cells]. Sel induk menjanjikan solusi yang sangat mengagumkan. Jika riset ini berhasil sesuai dengan harapan para peneliti, metode pengobatan akan mengalami perombakan total. Keunikan sel induk memberi pandangan yang sama sekali baru di dunia kedokteran.
Sel induk bersifat pluripotent. Satu sel induk dapat berkembang menjadi lebih dari 220 jenis sel penyusun tubuh. Sifat itu memberi harapan bagi penanganan banyak masalah di dunia kedokteran yang sampai sekarang sulit dipecahkan.
Pada kasus penyakit jantung misalnya. Penderita tak perlu melakukan cangkok jantung untuk mengganti bagian yang rusak. Bagian jantung yang rusak dapat diperbarui dengan penyuntikan sel induk. Sel induk bisa berkembang mengganti jaringan yang rusak itu sehingga
jantung dapat kembali berfungsi secara normal.
Para peneliti juga meyakini, beberapa penyakit yang disebabkan karena kerusakan jaringan otak seperti Parkinson dan Alzheimer juga bisa diatasi dengan penyuntikan sel induk. Beberapa jenis kanker yang belum ditemukan obatnya pun bisa ditangani dengan memanfaatkan sel induk.
Namun, riset sel induk menimbulkan perdebatan, terutama menyangkut masalah etika.

Ada dua cara mendapatkan sel induk. Pertama, dengan mengambilnya dari tubuh manusia dewasa. Dalam tubuh manusia dewasa ada bagian yang mengandung sel induk, misalnya di sumsum tulang belakang, atau dalam darah di tali pusat dan plasenta bayi yang baru dilahirkan. Kedua, dengan mengembang-biakkannya. Sel induk yang diperoleh dengan cara ini disebut sel induk embrionik. Embrio manusia [pada saat-saat awal setelah pembuahan] mengandung banyak sel induk. Sel-sel tersebut dapat diambil dan dikembangkan menjadi jumlah yang berlipat. Sel induk embrionik ini lebih diminati para peneliti karena lebih fleksibel, lebih mampu berkembang menjadi banyak jenis sel tubuh sehingga lebih menjanjikan kemanfaatannya.

Pengembangan sel induk embrionik ini yang banyak mendapat sorotan. Ada kelompok –baik dari tokoh agama maupun dari etika– yang memahami bahwa embrio merupakan bakal manusia. Karena itu keberadaan embrio harus dihormati dan diberi kesempatan untuk berkembang. Pengambilan sel induk dari embrio memutus kesempatan itu.

Di sinilah timbul pertentangan. Para peneliti bersikeras ingin tetap mengembangkan riset sel induk ini karena berpotensi mengatasi masalah-masalah besar manusia di masa yang akan datang. Namun bagi yang menolak, alasan para peneliti tersebut tak boleh digunakan untuk menghilangkan kesempatan manusia [bakal manusia] untuk hidup. Setiap kehidupan harus dihormati, meski itu masih dalam bentuk embrio.

Peran Agama dalam Perkembangan Ilmu Kedokteran dan Bioteknologi
Santernya pertentangan antara perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang kedokteran dan bioteknologi, memunculkan suatu kajian yang disebut bioetika. Kajian-kajian dalam bioetika berisi tentang pengaruh moral dan etika sosial dari teknik-teknik yang dikembangkan oleh bioteknologi.

Berbagai disiplin ilmu masuk dalam kajian bioetika. Di sinilah agama sangat dibutuhkan untuk berperan agar perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang bioteknologi tak menyimpang dari etika sosial dan agama.

Secara ideal, bioetika memunyai kekuatan untuk mengkritisi setiap perkembangan ilmu pengetahuan. Tapi pada saat yang sama, bioetika tak bersikap antipati sehingga tak dikesankan menghambat, bahkan menghalangi laju perkembangan ilmu pengetahuan.

Memang harus diakui, ilmu kedokteran dan bioteknologi berkembang dengan sangat kompleks. Kajian-kajian terhadapnya menghasilkan pandangan yang berbeda-beda sehingga tak mudah untuk memutuskan secara mutlak boleh atau tak boleh [halal atau haram]. Pada cangkok organ misalnya, para ulama berbeda pendapat tentang masalah itu. Ada yang menolak dan ada yang menerimanya.

Pandangan yang menolak setidaknya memiliki tiga alasan. Pertama, menyangkut kesakralan tubuh manusia. Setiap intervensi terhadap tubuh manusia dilarang, sekalipun pada manusia yang sudah meninggal. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis yang berbunyi, Dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Mematahkan tulang mayit adalah sama halnya dengan mematahkannya dalam keadaan hidup.” [HR. Abu Dawud].

Kedua, tubuh manusia adalah amanah. Mereka menganggap bahwa tubuh manusia pada dasarnya adalah milik Tuhan. Karena itu, manusia tak memunyai hak sedikit pun atasnya –termasuk memberikan sebagian dari tubuh itu kepada orang lain.

Alasan ketiga, pencangkokan yang berarti memindahkan organ tubuh manusia ke tubuh manusia yang lain diartikan sama artinya dengan menganggap tubuh manusia sebagai benda semata sehingga mengurang kesucian dan kesakralannya.

Sedangkan pandangan yang menerima berpijak pada kemaslahatan bersama. Pencangkokan organ tubuh memunyai potensi menyelamatkan hidup manusia yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Alasan yang lain menyangkut kewajiban Muslim membantu orang lain, khususnya sesama Muslim [altruisme]. Memberikan salah satu organ kepada orang lain menjadi salah satu bentuk altruisme yang sangat mulia.

Namun dibolehkannya pencangkokan organ itu tetap harus memenuhi syarat-syarat yaitu tak ada alternatif lain untuk menyelamatkan nyawa, ada persetujuan dari pemilik organ, tak membahayakan keselamatan pemberi organ, dilakukan atas dasar saling membatu dengan sukarela [tak ada transaksi jual beli], dan peluang keberhasilan pencangkokan tinggi. Masih ada syarat tambahan lagi, seorang Muslim, kecuali dalam kondisi mendesak, hanya dibolehkan menerima organ dari sesama Muslim.

Hadis Rasulullah Saw mengenai pematahan tulang jenazah bagi kelompok yang menerima dilihat dari segi konteks hadis itu diucapkan. Konteks hadis tersebut adalah saat ada seorang penggali kubur yang memaksa dengan kasar jenazah agar bisa masuk ke liang lahat karena liang lahat yang sudah digalinya tak cukup menampung jenazah itu.

Pandangan kemaslahatan umat juga diberlakukan terhadap pengembangan sel induk. Karena pertimbangan itu, tak sedikit ulama yang menoleransi riset sel induk dari embrio [embrionik]. Para ulama tersebut beralasan, belum ditiupkannya roh ke dalam embrio sebelum masa 120 hari dalam kandungan.

Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya kejadian seseorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah segumpal darah beku. Manakala genap empat puluh hari ketiga, berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus seorang malaikat untuk meniupkan roh, lalu malaikat itu diperintahkan untuk menuliskan empat perkara. Dikatakan kepadanya; Tulislah amalnya, rezekinya, ajalnya, dan [nasibnya] celaka atau bahagia.” [Muttafaq ‘Alaih].

Etika dalam Bidang Kedokteran
Ulama-ulama Muslim, berdasarkan kajian terhadap teks-teks ajaran Islam, menetapkan prinsip-prinsip dasar menyangkut segala bentuk usaha di bidang kedokteran. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

  • Manfaat. Segala bentuk usaha itu harus mendatangkan manfaat. Semua usaha yang diduga keras tak menghasilkan manfaat atau tak akan membawa hasil, harus dihindari.
  • Prioritas. Bila terjadi perdebatan maka dicari yang lebih prioritas untuk dilakukan. Kemaslahatan manusia yang hidup harus diutamakan atas manusia yang telah wafat, dan kemaslahatan yang lebih besar harus diprioritaskan atas kemaslahatan yang lebih kecil.
  • Menampik kemudharatan. Usaha yang dilakukan hendaknya lebih mengutamakan tindakan untuk menampik kemudharatan daripada mendatangkan kemaslahatan.
  • Menghormati manusia. Manusia harus dihormati baik yang wafat, lebih-lebih manusia yang masih hidup. [disarikan dari buku Menabur Pesan Ilahi - M. Quraish Shihab].« [imam]



0 komentar:

Posting Komentar